Syeh Ahmad Mutamakin adalah seorang yang disegani serta berpandangan jauh, salah satu tokoh yang berjasa besar dalam penyebaran Agama Islam di Utara Pulau Jawa terkhusus wilayah Pati. Beliau juga seorang yang arif dan bijaksana. ia pernah mencari ilmu sampai ke negeri – negeri Arab selama bertahun-tahun. belajar ilmu-ilmu dibidang Syariat, selanjutnya belajar Thoriqoh menurut dorongan hatinya, sebagai landasan hidupnya.[1]
Dalam perjalanannya mencari ilmu itu, beliau mendapat seorang guru besar bernama Syaikh Zain Al- Yamani. Setelah beberapa lama berguru, beliau mendapat pengesahan resmi dari guru besar tersebut, ia mohon pamit pulang ke Jawa pulang untuk segera mengamalkan ilmu-ilmu yang diperolehnya.
Beliau melanjutkan perjalanan sampai ke Desa Cebolek untuk menyebarkan Agama Islam sampai kepedalaman, beliau memasuki wilayah baru.[2] Dan bertemu dengan H. Syamsudin yang dikenal dengan sebutan Surya Alam, sehingga nama wilayah itu Kajen dari kata “Kaji Ijen”. Beliau mendapat kepercayaan dari H. Syamsudin untuk ditempati dan mengolah daerah tersebut menjadi Desa yang dapat mengenal Agama Islam.[3]
Selain belajar dan meperdalam Ilmu Pengetahuan agama dengan bersungguh-sungguh, ia juga belajar melatih jiwa dalam mengendalikan hawa nafsu, beliau pernah melatih dengan puasa, disaat mau buka puasa, beliau memasak yang paling lezat. Kemudian beliau mengikat diri dan tangannya pada tiang rumah. Masakan yang tersaji di maja makan hanya ia pandangi saja. Beliau mau menguji tingkat kesabaran hatinya. Namun yang keluar kedua ekor anjing.[4] Yang bernama Abdul Qohar dan Qumarudin sebagai lambang nafsu yang keluar dari diri manusia. Kuda mahluk tersebut memakan habis hidangan yang berada di meja makan. Pemberian nama pada kedua anjing tersebut seperti nama seorang penghulu dan khotib Tuban.
Pada suatu hari beliau kedatangan tamu, yang kebetulan saat itu Syeh Ahmad Mutamakin mendapat satu makanan yang hanya berisikan ikan asin kering. Kemudian tamu itu diajak makan bersama, namun si Tamu melahap habis nasi sama ikan kering tersebut. Tamu tersebut marah dan mau naik pitam ketika Syeh Ahmad Mutamakin bilang bahwa anjing mereka saja tidak suka sama Ikan kering. Hal tersebut sangat menghinanya, maka dia menyebarkan isyu kepada para ulama-ulama se jawa.
Selebaran-selebaran tersebut mengatakan bahwa Syeh Ahmad Mutamakin sebagai seorang Muslim senjati telah memelihara anjing dan memeberi nama anjing tersebut dengan nama orang seperti Qomarudin dan Abdul Qohar, selain itu Beliau gemar melihat dan mendengarkan wayang dengan cerita Bima Suci dan Dewa Ruci.[5]
Pihak keraton mendengar berita tersebut, sehingga ia mengutus seorang ulama bernama Ki Kedung Gede untuk menguji kebenaran tersebut sebelum Keraton memanggil dengan surat teguran atau panggilan dari pihak keraton. Syeh Ahmad Muthamakin tahu maksud hati dari tamu tersebut. Sehingga Syeh Ahmad Mutamakin bahwa beliau belum tahu huruf alif sekalipun, Ki Kedung Gede semakin Gusar, karena maksud yang ada dalam pikirannya telah tertebak dengan benar oleh Syeh Ahmad Mutamakin.
Selebaran yang telah beredar di seluruh ulama Jawa, ulama-ulama tersebut mendesak kepada pihak keraton[6] untuk mengadakan sidang pengadilan terhadap Syeh Ahmad Mutamakin yang telah keliru dalam pemahaman terhadap Agama Islam. Mereka kuatir bila hal ini tidak diatasi akan berdapak buruk pada penyebaran Agama Islam di pulau Jawa.
Persidangan terhadap Syeh Ahmad Mutamakin dihadiri oleh ulama seluruh jawa. Seperti Khotib Anom dari Kudus, Ki Witono dari Surabaya, Ki Busu dari Gresik. Dan ulama-ulama lainnya. Mereka sepakat menyidangkan Syeh Ahmad Mutamakin pada persidangan kartosuro. Selanjutnya tuntutan terhadap beliau dibacakan oleh Patih Danurejo, setelah mereka membacakan tuntutan-tuntutan tersebut. Patih menyuruh anak buahnya segera mengutus dua orang sebagai duta tugas kepada Syeh Ahmad Mutamakin.[7]
Undangan yang hadir banyak sekali merka ingin menyaksikan Sidang Pengadilan Syeh Ahmad Mutamakin. Dalam persidangan tersebut terjadi dua kelompok yang satu membela mati-matian Syeh Ahmad Mutamakin sedangkan kelompok yang satu menentang keras apa yang pernah dilakukan oleh Syeh Ahmad Mutamakin. Dalam persidangan tersebut yang paling menonjol dalam adu argumentasi adalah Khotib Anom Kudus, Patih Danurejo, dan utusan Demang Irawan yang merupakan utusan yang ditugaskan oleh Raja untuk mengawasi persidanganSyeh Ahmad Mutamakin.
Persidangan menjadi a lot, karena pihak penuntut menghendaki Syeh Ahmad Mutamakin dihukum pancung, karena telah melanggar syareat Agama, sedangkan kelompok yang satu membela matia-matian Syeh Ahmad Mutamakin. Akhirnya sidang ditunda sampai besuk. Karena bukti-bukti yang mengarah untuk dijadikan bukti untuk memvonis belum ada.
Raja Kartosuro memanggil Demang Irawan untuk mengetahui hasilnya dan kondisi terakhir persidangan tersebut. Atas saran Demang Irawan, Raja ingin memanggil Syeh Ahmad Mutamakin langsung empat mata. Raja bermimpi tentang sebidang petak sawah yang sebagian ditanami, sebagian menguning, sebagian Ketam. Mimpi tersebut selalu menghantui pikirannya, akhirnya Syeh Ahmad Mutamakin disuruh menafsirkan mimpi sang Raja. Syeh Ahmad Mutamakin menafsirkan mimpi Raja, bahwa Syeh Ahmad Mutamakin dapat bebas dari tuntutan pengadilan.
Setelah peristiwa tersebut, paduka Raja memrintahkan kepada Patih Danurejo untuk segera membebaskan Syeh Ahmad Mutamakin. Namun hal ini masih ada ulama seperti Khotib Anom yang masih keberatan akan keputusan raja tentang vonis bebas Syeh Ahmad Mutamakin. Mereka berhadapan dengan ulama uang membela Syeh Ahmad Mutamakin seperti Ki Kedung Gede.
Akhirnya Syeh Ahmad Mutamakin dan Khotib Anom dipanggil menghadap keraton. Tentang perbedaan pendapat yang tidak ada habis-habisnya. Dan diadakan tafsir Serat Dewa Ruci dan Bimo Suci diantara keduanya. Syeh Ahmad Mutamakin menerjemahkan serat tersebut dan mempraktekaan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan Khotib Anom kesulitan dalam memaknai atau tafsir mimpi Dewa Ruci/Bima Suci. Akhirnya Khotib Anom mengakui kepandaian, dan kearifan Syeh Ahmad Mutamakin.[8]
Syeh Ahmad Mutamakin berhasil lolos dari hukuman pancung. Bahkan beliau mendapat bumi perdikan kajen. Yaitu daerah yang bebas pajak negara. Beliau diberikan kebebasan dalam menyebarkan Agama yang harus sesuai dengan kridor Islam. Syeh Ahmad Mutamakin memiliki murid-murid besar seperti Kyai /Syeh Ronggo Kusumo,Kyai Mizan, R. Sholeh dan murid-murid lainnya yang tersebar dimana-mana.
***FREEDOM***
[1] Cerita tentang Syeh Ahmad Mutahamakin berasal dari Serat Cebolek, yang mengisahkan Ki Cebolek dalam kiprahnya menyebarkan Agama Islam Di Pantai Utara Jawa.
[2] Ada versi yang mengatakan bahwa Syeh Ahnad Mutamakin, merantau dari negeri Arab kemudian terus mengajarkan agama ke pesisir. Ketika beliau habis menunaikan ibadah Haji, beliau diantar oleh murid-murid beliau sebangsa jin. Kemudian di alihkan kepada seokor Ikan Mladang. Yang disangka kayu balok.. kemudian mendarat ke Desa Cebolek “cebul-cebul melek” (tiba-tiba dapat membuka mata). Nama Desa Cebolek, ada versi yang mengatakan bahwa desa tersebut terletak di daerah Tuban, yang sekarang bernama Desa Winong. Kemudian ketika Syeah Mutamakin berada di wilayah Pati, nama-nama Desa yang ada di Tuban di gunakan di desa baru dfi wilayah Pati. Ini juga mirip dengan Sunan Kudus yang memberi nama wilayah Kudus seperti wilayah timur tengah “al Quds”.
[3] Syeh Ahmad Mutamakin melihat seberkas sinar dari sebelah barat. Ia menuju sinar tersebut dan bertemu dengan H. Syamsudin. Ia mendapat kepercayaan untuk tinggal di wilayah Kajen. Ini mirip dengan cerita Kudus, ketika K. Telingsing menyerahkan Kudus kepada Jafar Sidik (Sunan Kudus)
[4] Kontroversi Syeh Mutamaikn hampir sama dengan apa yang pernah dilakukan Syeh Siti Jenar, Sunan Panggung dan Syeh Among Rogo, al hallaj (Bagdad). Mereka adalah tokoh pernyebaran Islam di Jawa yang tidak sejalan dengan apa yang menjadi keputusan Agama Islam Keraton.
[5] Cerita ini ditulis dalam Serat Cebolek karya R. Ng. Yasadipura I (1729-1803). Penulis produktif istana Kartasura pada masa Paku Buwono II (berkuasa 1726-1749). Dalam Serat Cebolek tersebut terdapat 2 tokoh yaitu Kyai Rifai yang dikenal dengan Rifa’iyah yang berkembang di daerah Batang Jawa Tengah.
[6] Masa hidup beliau adalah sekitar abad XVIII atau sekitar pemerintahan susuhunan Amangkurat IV sampai dengan pemerintahan Paku Buwono II yaitu tahun 1727-1749 Masehi.
[7] Peristiwa ini kejadiaannya kira-kira pada tahun 1725 Masehi.
[8] Versi lain dalam persidangan dan tafsir mimpi tersebut Khotib Anom Kudus menang, sedangkan versi yang lain dimenangkan oleh pihak Syeh Ahmad Mutamakin.
SILSILAH SYAIH KH. AHMAD MUTAMAKIN
(Versi Kajen)
Dari Pihak Ayah Dari Pihak Ibu
Raden Patah Sayid Ali Akbar
Sultan Demak Dari Bejagung Tuban
Sultan Trenggono
Istri Hadiwijoyo Sayid Ali Ashgor
(Joko Tingkir)
Sumo Hadiningrat Raden Tanu
(Pangeran Benowo)
Sumohadinegoro X Putri Raden Tanu
Syekh Ahmad Mutamakin
Nyai Godheg K. Bagus K. Endro Muhammad
Lukisan Mutamakkin dalam Teks Kajen*
Sumber : http://gubugbudaya.wordpress.com/
Hari masih sore, tapi makam (pesarean) syeikh Ahmad Mutamakkin –masyarakat Kajen, Pati, Jawa Tengah lebih akrab menyebutnya mbah Mad- kembali sesak dengan jubelan manusia. Satu persatu mulai memasuki pekarangan berukuran 6×14 meter yang lebih tampak seperti bangunan masjid itu. Setelah sebelumnya mengambil air wudlu di tempat yang tersedia, para pengunjung segera mengambil kitab Alquran, mulai duduk hikmad, secara lirih melantunkan bacaan ayat demi ayat sampai rampung. Tapi, tidak sedikit pula yang benar-benar menghabiskan satu hari satu malam tafakkur, ngaji, dan bertawassul di tempat itu. Pemandangan seperti ini memang biasa disaksikan di pesarean Mutamakkin atau mungkin juga di tempat-tempat lain yang dianggap memiliki sejarah dan nilai karomah tertentu. Datang silih berganti, laki-laki dan perempuan yang mengaku dari berbagai pelosok Pati dan sekitarnya itu memang sengaja menyempatkan diri sowan, ziarah, kirim doa, atau bermunajat di hadapan makam sang syeikh. Biasanya, para peziarah mulai berdatangan pada Kamis siang dan berakhir pada Jum’at sore. Meskipun makam tersebut disinyalir sudah berumur + 200 tahun, tetapi sawaban, keramat, dan pesona kesucian yang terpancar dari sosok Ahmad Mutamakkin masih dirasakan sampai sekarang. Bahkan, makam yang berdekatan dengan Madrasah Mathali’ul Falah pimpinan KH Sahal Mahfudz itu pun dijadikan oleh para santri (laki-laki) sebagai tempat untuk berkhalwat, nyepi, dan menghafal Alquran. “Di sini lebih nyaman dan lebih tenang. Jadi bisa konsentrasi untuk ngapalin Alquran, Mas,” ujar Muhammad Ihsan (14 tahun), santri Mathali’ul Falah.
Tampaknya, fenomena makam ulama asal Cebolek tersebut semakin jelas memangkirkan asumsi dan/atau bayangan tentang pada umumnya makam yang identik dengan nuansa seram, angker, dan menakutkan. Santri, masyarakat sekitar, dan tamu peziarah justru menjadikannya sebagai ajang untuk memohon sesuatu kepada Sang Khalik justru melalui perantaraan (wasilah) jasad beku Mutamakkin. “Ya, seminggu sekali, khususnya malam Jum’at saya hampir pasti ke sini. Kadang-kadang sendiri, tapi sering juga dengan teman-teman yang lain. Saya ngaji beberapa ayat, setelah itu berdoa. Mbah Mad itu kan waliyullah, punya karomah. Jadi melalui doa itu mudah-mudahan kita juga mendapat berkah,” ujar Suseno (44 tahun), salah satu warga Kayen, Pati Selatan.
Selain makam, tempat lain yang juga dijadikan tempat perenungan dan berkhalwat adalah Masjid Ahmad Mutamakkin, 100 m ke arah timur dari makam beliau. Masjid kuno –konon usianya + 250 tahun- yang saat ini lebih popular disebut dengan masjid jami’ Kajen ini juga menjadi tempat bertujunya para peziarah dari berbagai tempat. Di dalam masjid terdapat beberapa bagian bangunan seperti mimbar, dairoh (langit-langit dalam masjid), papan bersurat di samping tempat pengimaman shalat, dan palang pintu masjid yang diyakini hasil kreasi Ahmad Mutamakkin. Dan beberapa kreasi Mutamakkin itu banyak dimaknai orang sebagai karya yang memiliki nilai filosofis yang tinggi. Misalnya, di mimbar terdapat ornamen, ukir-ukiran dengan salah satunya bentuknya adalah bulan sabit yang dipatuk burung bangau. Motif ini dimaknai sebagai semangat dan doa Mutamakkin terhadap keturunannya (termasuk keturunan simbolis/penerus perjuangannya) akan bisa mencapai cita-cita mulia. Lalu terdapat ukiran bunga yang tumbuh dari tunas sampai mekar yang juga diyakini masyarakat sekitar sebagai doa pencapaian khusnul khatimah bagi keturunannya, sebagaimana terdapat dalam papan bersurat “sing penditku ngusap jidatku”, yang termasuk keturunanku, mengusap jidatku (Bizawie, 2002: 107).
Di samping itu, masih terdapat sumur yang juga diyakini sebagai sumurnya Mutamakkin. Sumur ini terletak sekitar 2 km sebelah timur dari Kajen, tepatnya masuk ke dalam desa Bulumanis. Sumur ini tidak pernah kering dan masyarakat sekitar sangat yakin bahwa air sumur tersebut bisa mengobati beberapa penyakit.
Tentu, selain adanya pondok pesantren –di Kajen terdapat sekitar 35 pondok pesantren dan 4 madrasah- tempat-tempat inilah yang telah membuat ratusan bahkan ribuan orang datang ke Kajen. Apalagi, setiap tahun pada tanggal 10 Suro (Muharram) makam Ahmad Mutamakkin bisa dipastikan penuh dengan ribuan peziarah karena tanggal ini telah ditetapkan sebagai haul (peringatan tahunan) Mutamakkin. Pak Sholeh (37 tahun), juru makam Mutamakkin menuturkan bahwa pada tanggal tersebut, tidak ada tempat sedikit pun yang longgar dari pengunjung. “Wah, jumlahnya bisa sampai 10.000 orang. Makanya seluruh tempat makam sampai ke ujung jalan Kajen ini sesak oleh peziarah, Mas,” tutur kuncen muda ini. Salah satu fenomena menarik yang selalu menjadi rutinitas ritual haul adalah adanya momen khusus dimana kain putih penutup makam Mutamakkin dilelang secara umum. Keseluruhan kain yang diyakini mengandung kekuatan magis ini pernah dijual sampai menghasilkan uang sebanyak 70 juta rupiah. “Sepertinya yang kebanyakan membeli kain itu para nelayan karena mereka sangat yakin kalau perahunya itu ditempeli kain itu, rata-rata penghasilan ikannya banyak terus,” tutur Pak Sholeh.
Memang satu hal yang bisa dibaca dari efek haul seperti itu adalah penciptaan kontinuitas pesona mitis yang diharapkan akan selalu diingat oleh siapa pun yang datang ke pesarean Mutamakkin. Haul dikonstruksi sedemikain rupa –entah sadar atau tidak- bertujuan untuk menghadirkan daya linuwih yang dimiliki oleh tokoh yang sudah meninggal sekaligus untuk melegitimasi kekuasaan para keturunannya. Dalam konteks ini, fenomena jubelan ratusan bahkan ribuan orang itu mungkin dan hanya mungkin terjadi karena masyarakat melihat adanya sesuatu yang masih patut dipuja sebagai panutan yang memiliki kelebihan, karomah, dan berkah. Persoalan bahwa apakah kirim doa itu mengharuskan para peziarah untuk menengok terlebih dahulu ke belakang, ke sebuah masa dimana Mutamakkin melakukan gerakan kultural keagamaan di Kajen bukanlah hal utama. Peziarah juga tidak terlalu penting untuk melihat bahwa Ahmad Mutamakkin pernah diceritakan oleh Raden Ngabehi Yasadipura I sebagai sosok yang menyebarkan ajaran “sesat,” menggaungkan konsep manunggaling kawula lan gusti ala Siti Jenar atau seperti hulul ala al-Hallaj, layaknya “penyimpangan syariah” yang dilakukan Sunan Panggung, Ki Ageng Pengging, dan Syeikh Amongraga. Mungkin seperti itulah fenomena Mutamakkin yang juga disambut oleh Ketib Anom Kudus sebagai pembelokan syariat yang membahayakan publik. Bagi peziarah, terdapat hal lain yang lebih penting dari persinggahan di depan makam adalah bagaimana bisa merasakan kehadiran Mutamakkin dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sebagai sosok tetapi juga sebagai tokoh penyebar Islam pertama di Kajen dan penghubung antara keinginan masyarakat dengan Tuhan.
Di samping itu, endapan benak mayoritas masyarakat Kajen meyakini bahwa perdebatan Mutamakkin dengan Ketib Anom itu pun pada hakikatnya bukan dimenangkan oleh ulama asal Kudus itu, melainkan oleh Mutamakkin sendiri. “Lho, mbah Mad itu kan ilmunya sudah mencapai tahap tinggi, jadi Ketib Anom itu tidak bisa memahami ungkapan-ungkapan mbah Mad lalu diisukan kalau mbah Mad itu tidak bisa apa-apa. Maklum, Ketib Anom itu kan tingkatannya masih syari’at, jadi kalah kuat kalau harus berhadapan dengan mbah Mad,” demikian tutur pak Sholeh. “Wah tidak benar kalau mbah Mad itu menyebarkan ajaran manunggaling kawula lan gusti atau ajaran sesat lain, anti syariat, atau apa itu. Masjidnya itu kan bisa jadi bukti bahwa beliau juga menjalankan syariat, karena di masjid itulah beliau melaksanakan shalat dhuha, shalat jumat, dan shalat fardlu yang lain,” tandasnya kemudian.
seperti pembelajarannya yang mumpuni menguasai serat Dalam pandangan pak Sholeh perdebatan Mutamakkin dengan Ketib Anom Kudus merupakan cermin dari ketidakrelaan kelompok agama pembela keraton melihat tingkah laku Mutamakkin yang nyeleneh, tidak patuh pada raja, sampai dianggap fasik karena memelihara duabelas anjing. Mungkin persoalannya bukan hanya sebatas itu. Keunggulan Mutamakkin, seperti diceritakan oleh pak Sholeh, adalah kemampuannya untuk mengawinkan ajaran kejawenDewaruci dengan ajaran Islam Timur Tengah, sebuah laku kreatif untuk menghidupkan ajaran lokal di samping ajaran Islam Arab. Dengan kata lain, tidak mudah bagi Ketib Anom untuk menyaksikan kemungkinan terjadinya peleburan Islam dengan lokalitas yang ia anggap akan berakibat pada penodaan terhadap ajaran Islam yang “murni.” Maklum, Ketib Anom atau juga ulama lain yang berafiliasi ke keraton waktu itu merasa sebagai penanggungjawab dan pengatur persoalan kehidupan sosial, politik, budaya, dan agama. Ketib Anom selalu ingin agar Alquran dan Hadis menjadi ideologi, ujung tombak dakwah yang menuntut untuk dilakoni sepersis mungkin. Sementara kemampuan Mutamakkin melatih diri secara personal terhadap ajaran tasawuf sebagai pengalaman religius pribadi yang kemudian melahirkan perilaku yang nyleneh hanyalah pembungkus yang dijadikan penguat oleh Ketib Anom untuk meyakinkan raja bahwa Mutamakkin telah ‘menyimpang’ dari syariat. “Kiai kok punya anjing, itu kan melanggar ajaran Nabi,” tegas Ketib Anom.
Tapi teks Kajen berbicara lain. Pak Latif (41 tahun), salah seorang santri kiai Sahal Mahfudz bertutur bahwa anjing yang dimiliki Mutamakkin bukanlah anjing seperti pada umumnya, melainkan simbol pengendalian nafsu Mutamakkin sendiri. Konon, Mutamakkin pernah melakukan puasa selama 40 hari tanpa henti. Pada hari ke empatpuluh, Mutamakkin meminta istrinya untuk menghidangkan beberapa masakan yang enak dan lezat untuk berbuka. Ketika hidangan tersedia, Mutamakkin sendiri masih berusaha menahan nafsunya agar tidak tergoda oleh hidangan yang disediakan istrinya. Lalu ia memerintahkan istrinya untuk memborgol kedua tangannya supaya ia tidak bebas menyantap makanannya. Ketika itulah, pergulatan nafsu ingin makan dan keinginan mengendalikan diri menyebabkan nafsu “buruk” Mutamakkin keluar dari tubuhnya, menjelma menjadi dua anjing yang menghabiskan hidangan yang ada di depannya. Dan kemudian kedua anjing ini diberi-nama Kamaruddin dan Abdul Kahar, dua nama yang menyerupai nama penghulu dan khatib Tuban kala itu.
“Makanya orang Kajen sendiri, meskipun banyak mengikuti ajaran mbah Mad, tapi tidak ada yang ikut memelihara anjing. Karena itu bukan anjing biasa, bukan anjing seperti anjing-anjing yang suka berkeliaran itu. Anjingnya mbah Mad itu adalah penjelmaan nafsunya sendiri,” jelas pak Latif kemudian. Meskipun pendapat ini dibantah oleh Muhammad Zuhri yang mengatakan bahwa anjing Mutamakkin adalah anjing seperti anjing kebanyakan. Ia bukanlah ciptaan nafsu Mutamakkin. “Begini. Kiai Mutamakkin itu kan memiliki darah pembauran. Darah Cina seperti pendahulunya, yaitu Jinbun (Raden Patah). Nama lain Kiai Mutamakkin itu adalah So Gie. Jadi, sangat wajar kalau beliau itu memelihara anjing, karena beliau itu seorang Cina, budayawan, sekaligus tokoh spiritual,” tuturnya.
Masih menurut Zuhri, penyerupaan nama anjing Mutamakkin dengan nama penghulu Tuban itu lebih disebabkan oleh tidak amanahnya penghulu tersebut sebagai pengembang ajaran agama. Contoh, sang penghulu sebagai koordinator zakat, tetapi tidak pernah menyalurkan hasil zakat itu kepada fakir miskin. Maka, Mutamakkin mengatakan bahwa perilaku seperti itu sama saja seperti perilaku anjingnya yang sangat terlihat tamaknya,” lanjutnya.
Tapi, mungkin juga penamaan tersebut bukan sesuatu yang kebetulan. Tentu, siapa pun sulit untuk mencari alasan kuat yang menyebabkan Mutamakkin merasa penting mempertautkan penyerupaan nama tersebut, kecuali masyarakat Kajen yang memiliki tafsir tersendiri. Bercermin dari realitas masa kini, masyarakat Kajen seperti halnya Muhammad Zuhri pun berusaha menggambarkan keadaan masa lalu mengenai hubungan antara kelompok agama dan negara yang sudah berafiliasi menjadi satu entitas tunggal. Apa pun agamanya, masuk ke dalam wilayah kekuasaan seringkali menghilangkan kritisisme terhadap kekuasaan itu sendiri. “Ya kan kebanyakan orang pemerintahan itu begitu to, Mas. Perilakunya banyak yang memalukan. Bukan ngayomi, malah nyusahin banyak orang,” ujar pak Sholeh. Dengan demikian, anjing, versi lain menyebutkan singa, atau yang lain, oleh masyarakat Kajen justru dijadikan cambuk, kritik, dan sindiran bagi penguasa atau siapa pun yang merasa bijak mengurusi kelompoknya tapi kejam menyikap keperbedaan yang lain, seperti Mutamakkin yang sudah pasti bukanlah mainstream.
Pergeseran-pergeseran Mitis
“Dulu, ketika saya masih kecil, makam itu tidak ada kuncen-nya. Bahkan, tiap waktu saya juga bisa masuk ke dalam area makam,” kenang Imam Aziz. Aktifis yang kini giat mengurusi lembaga Syarikat Yogyakarta dan juga alumnus Madrasah Mathali’ul Falah ini mengenangkan bahwa ketika kecil ia memang hampir tiap hari ngaji dan sowan ke pesarean Mutamakkin. Ia pun ingat bagaimana tempat pesarean itu tidak eksklusif seperti sekarang yang hanya bisa dibuka untuk umum setiap hari Jumat.
Seperti layaknya kuncen di tempat-tempat lain, juru kunci pesarean Mutamakkin pun memiliki otoritas tersendiri ketika dihadapkan pada kenyataan-kenyataan tertentu. Ia dianggap sebagai sosok yang bukan hanya mampu menjembatani “pertemuan” peziarah dengan Mutamakkin, tetapi juga menjadi tokoh spiritual yang dianggap memiliki dan memberi barokah khusus. Bahkan, tidak sedikit orang yang datang berkunjung ke pesarean Mutamakkin juga sekedar bertemu dengan juru kunci untuk meminta obat bagi penyakit tertentu dengan menggunakan air yang terdapat di dalam kamar juru kunci. “Alhamdulillah, dengan perantaraan air ini, banyak sudah penyakit yang bisa disembuhkan,” tutur pak Sholeh. Bukan hanya itu, masyarakat seperti pak Sholeh atau juga pak Latief yakin bahwa pada saat-saat tertentu, khususnya ketika Kajen dan sekitarnya akan mengalami peristiwa besar, maka anjing Mutamakkin akan menyalak dengan kencang di malam hari yang suaranya bisa didengar oleh kebanyakan penduduk. Di samping itu, piring tempat makan Mutamakkin pun masih disimpan sampai sekarang dan hanya akan diperlihatkan pada hari khusus, tepatnya ketika haul Mutamakkin itu dilaksanakan. “Piring itu sempat gompal sedikit karena diperebutkan banyak orang untuk sekedar menciumnya. Untuk itu, sekarang piring itu hanya bisa dikeluarkan satu tahun sekali,” cerita pak Sholeh kepada DESANTARA. Kuncen, ”air suci”, jualan klambu, haul, atau ritual yang lain tentu merupakan bagian dari minat untuk menghadirkan pesona Mutamakkin agar terasa dekat dan bisa dirasakan oleh para generasi mutakhir.
Mungkin juga sulit untuk memberi penjelasan secara eksplisit tentang siapa yang memenuhi otoritas untuk melestarikan pesona mitis yang dibangun terus-menerus itu, karena di Kajen sendiri terdapat perdebatan tentang boleh-tidaknya sarana-sarana mitis seperti itu dibakukan. Mbah Dolah (KH Abdullah Salam), sebagai salah satu keturunan Mutamakkin yang cukup popular di kalangan ulama dan warga Nahdlatul Ulama (NU) juga dikabarkan tidak sependapat dengan berbagai ritus mitis yang dilakukan hanya untuk sekedar melestarikan arwah Mutamakkin.
Menurut Muhammad Zuhri, salah satu tokoh spiritual Kajen, ketidaksepakatan Mbah Dolah terhadap haul lebih disebabkan karena adanya perubahan haluan pemaknaan terhadap haul itu sendiri. “Dulu, haul itu dilestarikan oleh murid-muridnya karena sebagai medium untuk memanggungkan Dewaruci. Jadi haul sebagai media dakwah,” ujarnya. Sedangkan saat ini, haul lebih memunculkan nuansa mitis dibanding dengan pemunculan ide-ide dan kreatifitas pemikiran Mutamakkin. Meskipun demikian, keturunan Mutamakkin yang lain tetap bersikukuh pada pendirian untuk melakukan hal yang sebaliknya. Terlepas dari perdebatan para ahlul bait, yang jelas pesarean Mutamakkin telah menjadi legenda yang lestari. Dan dari kenyataan seperti ini semakin jelas pula bahwa penghadiran pesona Mutamakkin seolah-olah bukan hanya ingin dijadikan sebagai sebuah cerita yang hinggap di benak kepala-kepala individu, melainkan juga memiliki orientasi rekayasa sejarah di dalam dirinya.
Sejarah bukan hanya cerita, ia hampir pasti memerlukan dukungan berupa partisipasi aktif, pengetahuan, dan penyebaran nilai-nilai luhur yang turut memunculkan kebanggaan sekaligus kegemingan bahwa kisah tentang Mutamakkin lalu menjadi penting untuk dilanjutkan (ditradisikan) secara terus-menerus. Seiring dengan itu, lambat laun masyarakat semakin ketat dalam memperlakukan Mutamakkin. Sosok panutan itu disegel melalui ritual dan semakin beku dalam pola-pola penghormatan yang bukan hanya mitis, tetapi juga sakral. Anjuran berwudlu sebelum memasuki area pesarean hanyalah salah satu bagian dari gema wajib yang harus dilakukan. Asumsi suci menjadi landasan utama bahwa bertemu dengan Mutamakkin haruslah bersih lahir-batin. Akhirnya, wudlu pun menjadi ritus yang kental dengan pendisiplinan jiwa dan juga “ancaman” batin bahwa bagi siapa pun yang tidak berperilaku sopan dan merendahkan diri –dalam arti suci – maka Tuhan atau mungkin juga (roh) Mutamakkin sendiri akan murka. Sementara di sisi lain, dan juga pada saat bersamaan, para pedagang semakin berjejal di sekitar pesarean, tidak hanya sekedar meraup untung tetapi juga menyebarkan pengetahuan tentang pentingnya ulama kharismatik asal Cebolek itu untuk didatangi.
Menyambut Teks Kajen Meninggalkan Serat Cebolek
Tidak ada ketunggalan kisah yang menyebutkan dari mana Mutamakkin berasal. Ada yang mengatakan bahwa ulama yang satu ini berasal dari Persia, tapi ada juga yang mengatakan ia berasal dari Desa Cebolek, Tuban, Jawa Timur. Mutamakkin juga diyakini sebagai keturunan Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) dan Prabu Brawijaya VI, Raja Majapahit. Meskipun demikian, penjelasan ini tidak cukup mampu meringkas riwayat hidup Mutamakkin pada satu titik terang semacam curriculum vitae yang cukup detil. Satu hal yang hampir pasti adalah bahwa Mutamakkin pernah belajar beberapa tahun di Timur Tengah lalu bertolak ke tanah Jawa. Kedatangannya di Kajen pun njebul melek (asal kalimat dari nama Cebolek, yang artinya muncul secara tiba-tiba lalu membuka mata). Setelah melakukan pengembaraan ke beberapa tempat, akhirnya Mutamakkin menetap di Kajen dan melakukan berbagai aktifitas keagamaan, termasuk berdakwah dan menerima beberapa murid yang di antaranya adalah Kiai Ronggokusumo, Kiai Mizan, dan Raden Sholeh (keturunan Ki Ageng Selo).
Apa yang menarik dari kisah Mutamakkin ini adalah kontroversi, stereotip yang kentara dikukuhkan oleh Yasadipura I di dalam salah satu karyanya yang cukup terkenal, Serat Cebolek. Karya ini sangat menarik karena di dalamnya terdapat tuturan yang berkisah tentang usutan Ketib Anom dan ulama lain terhadap kepercayaan Mutamakkin. Seperti halnya Jenar, Mutamakkin pun dianggap mengajarkan ilmu mistik. Awalnya, usutan ulama yang diwakili oleh Demang Urawan sempat ditampik Prabu Amangkurat IV, raja Kartasura kala itu. “Jangan begitu. Meskipun wajah Mutamakkin itu tidak rupawan, tapi hatinya suci. Ini suratan takdir, Demang. Ia adalah pilihan penjaga suksma,” ujar sang prabu sebagaimana tersurat dalam Serat.
Tentu, Demang Urawan tersungut, terlebih-lebih Ketib Anom. Konon, ia tetap mengajukan protes kepada sang raja hingga akhirnya ia diijinkan untuk menggelar pengadilan khusus membahas masalah Mutamakkin. Seketika Demang Urawan mengundang Mutamakkin ke keraton. Tapi di tengah perjalanan, terdengar kabar bahwa raja Amangkurat IV mangkat sehingga pengadilan atas Mutamakkin tertunda. Setelah tampuk kekuasaan diserahkan kepada Pakubuwono II, Ketib Anom tetap mendesak raja baru untuk kembali menindaklanjuti perkara lama yang sempat tertunda. Lagi-lagi, Mutamakkin kembali diundang yang ia penuhi dengan tenang. Mutamakkin tahu bahwa Ketib Anom telah mempersiapkan hukuman bakar baginya, tapi ia sama sekali tidak takut. Bahkan, Mutamakkin sendiri berujar bahwa seandainya dirinya meninggal karena dibakar, ia justru berharap asapnya bisa terbang sampai ke Yaman dan bisa dicium oleh gurunya, Syeikh Zen.
Yasadipura I bertutur bahwa di hadapan Ketib Anom dan beberapa ulama yang lain, Mutamakkin diuji untuk membacakan kitab Dewaruci yang kesohor dan menjadi salah satu kitab kebanggaan Mutamakkin. Tapi Mutamakkin tidak mampu merampungkan bacaannya lalu dicemooh oleh Ketib Anom. Mujur, Pakubuwono II masih mengampuni Mutamakkin dengan alasan bahwa ajaran Mutamakkin adalah laku pribadi dan tidak disebarkan untuk publik sehingga ia tidak pantas dihukum.
Lain halnya dengan tuturan teks Kajen. Masyarakat sekitar memiliki versi lain, bahwa yang tidak mampu membaca kitab Dewaruci adalah Ketib Anom sendiri hingga akhirnya meminta bantuan Mutamakkin untuk merampungkan dan memberi penjelasan tentang kisah yang dimuat di dalamnya. Mendengar penjelasan Mutamakkin, akhirnya Ketib Anom sadar bahwa dirinya tidak sebanding dengan kemampuan Mutamakkin, bahkan Pakubuwono II sendiri akhirnya menyatakan diri sebagai murid Mutamakkin dan memberi hadiah ulama Cebolek itu untuk menikahi adik Pakubuwono II.
Berkiblat pada tuturan teks Kajen inilah Milal Bizawie (2002) menyimpulkan bahwa fenomena Mutamakkin di dalam Serat Cebolek merupakan kreasi kaum (ulama) elit penjaga syariah sekaligus sebagai cermin dari hegemoni agama keraton, semacam textual politik, demikian ujar Goenawan Mohamad (2002). Untuk itu, penafsiran yang dimunculkan di Kajen seyogyanya diapresiasi sebagai kreatifitas lokal atau resistensi kultural terhadap gempuran wacana yang diisi, disebarkan, dan diikat oleh kelompok yang untuk sementara menduduki kursi kekuasaan. Tampaknya, masyarakat pun menyadari bahwa perlawanan bukan berarti harus mengamandemen teks yang tersurat di dalam Serat Cebolek yang sudah barang tentu tidak akan efektif, melainkan dengan menghadirkan kisah lain yang cukup dipedomani sebagai diktat. Alih-alih muncul kontroversi, tapi yang jelas dan sampai saat ini masih menyisakan jejak adalah konsistensi masyarakat Kajen yang senantiasa berbondong-bondong masuk, mampir di pesarean, ngaji, bersimpuh ngalap berkah dengan yakin bahwa Mutamakkin adalah anak zaman yang harus diuri.
“Saya memang membaca Serat Cebolek dan beberapa hasil tulisan orang tentang serat ini. Tapi saya tidak pernah menjadikannya sebagai pisau analisis untuk membaca Mutamakkin. Bagi saya tulisan-tulisan itu hanyalah data-data sejarah yang cukup dijadikan referensi, sementara yang lebih penting adalah realitas saat ini,” ujar Muhammad Zuhri.
Dengan demikian, memaknai dan memahami Mutamakkin tidak cukup dengan mengamini tafsir tunggal Yasadipura I. Tentu, bukan hanya apa yang secara jelas tersurat di dalam naskah kuno itu yang penting untuk dikaji atau proses kreatif sang penulis yang menarik untuk dicermati melainkan juga apa yang saat ini telah menjadi realitas umum yang mengemuka di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kajen. Serat Cebolek hanya satu versi yang saat ini tidak lagi berdiri sendirian sebagai pengemban mitos yang tidak bisa dibantah. Di sana terdapat tuturan lain, yang sudah tentu beda tapi sangat inspiratif untuk dijadikan tempat mengadu bahkan menyelesaikan kerisauan hati.
Dan mungkin, inilah konteks dimana fenomena Mutamakkin dalam teks Kajen adalah realitas tentang yang aneh, lokal, dan spesifik yang memiliki daya tolak kreatif ketika diperhadapkan dengan kekuatan mainstream yang cenderung ingin menggerus kekuatan pinggiran. Dan ketika pergulatan ini semakin menemukan bentuknya dalam pemahaman keseharian masyarakat, maka kabar dari Serat Cebolek yang banyak mengundang perhatian para peneliti itu menjadi absurd meskipun pada saat yang sama, Mutamakkin yang dikabarkan pengagum Dewaruci itu pun semakin surut dalam pesona yang dibangun dan diabadikan oleh generasi masa kini yang mudah-mudahan tidak tenggelam dalam kekaguman yang semata-mata mitis. Tentunya ada rasa khawatir. Ketika keabadian Mutamakkin hanya disandarkan pada ritual 10 Muharram dan ditakjubkan sedemikian hebat, maka ia akan berakhir pada pemberhalaan yang mungkin mengesankan tapi tidak lebih dari sebuah konstruksi. Sementara peran dan kiprahnya sebagai sosok atau tokoh simbolik – meminjam istilah Bizawie – “perlawanan kultural agama rakyat” semakin luntur dari ingatan.
*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Desantara Ed.13/2005, “Mbah Mutamakkin VS Cebolek; Suara Lain dari Kajen.”
PEMBANGKANGAN DARI PATI ALA MUTAMAKKIN
Dikisahkan kembali oleh : H. Atho’ al Jauhari, Komunitas @Thoriq
Sumber : http://bintangathoriq.blogspot.com/
http://www.kelola.or.id/
KH. Syekh Mutamakkin, ulama dari Desa Kajen, Kec. Margoyoso Pati, yang hidup di abad silam, dinilai nyleneh (unik/ aneh, bhs Jawa) dan dicap sebagai pembangkang pada zamannya, seperti yang terjadi pada Syeh Siti Jenar.
Kepada santrinya, seringkali dia memberi piwulangan mocopat dan pendalaman cerita wayang Dewa Ruci yang bermakna tasawuf. Bukan cerita yang bersumber dari kitab agama. Kontroversial lainnya, Syekh Mutamakkin juga memelihara dua ekor anjing.
Keanehan Syech Mutamakkin membuat gerah, gelisah dan geram para ulama besar lainnya, termasuk Ketib Anom Kudus. Al hasil, diseretlah Syech Mutamakkin ke sidang Keraton Kartosuro.
Di hadapan sidang Keraton, dengan tenang dan percaya diri Syech Mutamakkin menjelaskan hal yang didakwakannya.
Disampaikannya alasan memelihara anjing adalah karena kecintaannya pada binatang yang merupakan mahluk Allah.
Demikian juga tentang cerita wayang Dewa Ruci, dia mengambil hikmah dan suri tauladan falsafah cerita Dewa Ruci.
Dengan penjelasan yang gamblang dari sang Syekh, akhirnya tuduhan penyimpangan ajaran agama yang dilontarkan oleh Ketib Anom Kudus dapat ditepis.
Berbekal rasa khusnudhon kepada sesama umat yang berbeda pendapat, kita dapat berkomentar : ”Fitnah para kyai sejatine pengin ngerteni ajaran Syekh Mutamakkin. Kuwi sejatine dilandasi katresnanan”. (Fitnah para Kyai sesungguhnya karena keinginan untuk memahami ajaran Syekh Mutamakkin, dan itu dilandasai rasa kasih sayang).
Catatan : Kisah di atas disampaikan seniman bertubuh subur, dalang suket yang bisa nyambi sebagai Ustadz, yaitu SLAMET GUNDONO, diiringi tetabuhan yang menjadi ciri khasnya, di hadapan para Kyai dan Santri pada saat peringatan / haul wafatnya KH. Syekh Mutamakkin, di Pati, 5 Januari 2009. Hadir pada kesempatan itu antara lain seniman KH. Mustofa Bisri dan WS Rendra, dimana keduanya membacakan cerpen. Sumber, Suara Merdeka, Rubrik Seni, Rabu 7 Januari 2009.
SEJARAH DAN PENGARUH KH. AHMAD MUTAMAKKIN
Sumber : http://www.maslakulhuda.net/
Sejarah awal mula datangnya Islam dan cara penyebarannya di Indonesia banyak versi dan dari beberapa teori yang muncul mempunyai dasar dan sudut pandang yang berbeda. Perbedaan pendapat diantara para ahli tersebut berkisar pada, kapan datangnya, siapa yang menyebarkannya dan melalui jalur mana serta dengan cara seperti apa, hingga pada motif pertanyaan mengapa Islam dapat menjadi pandangan mayoritas masyarakat Indonesia dengan berbagai aliran dan varian golongannya.
Sampai saat ini perdebatan para ahli sejarah tentang awal mula datangnya Islam di Indonesia masih terus berlanjut, dan perdebatan itu semakin seru ketika beberapa waktu yang lalu dalam tesisnya saudara Sumanto Al-Qurtuby memaklumkan sebuah teori baru tentang datangnya Islam di Indonesia, buku yang cukup kontroversial yang berjudul “Arus. Cina –Jawa-Islam” dengan tegas menyatakan bahwa Islam datang pertama kali bukan dari Parsi, Gujarat apalagi langsung dari Arab melainkan dari daerah yang selama ini menjadi momok sosial-ekonomi bagi segenap masyarakat jawa, yaitu Cina.
Lepas dari apakah tesis itu benar atau salah, perdebatan ini memberikan pelajaran tersendiri bagi umat Islam, bahwa Islam tanpa perlu dilihat dari mana asal datangnya yang lebih penting ajaran dan nilai-nilainya telah membaur dan menjadi pandangan hidup sebagian besar masyarakat Indonesia. Mungkin yang lebih menarik diteliti lebih jauh mengapa Islam bisa diterima oleh bangsa kita melebihi agama yang lain bahkan melampaui tradisi lama yang telah sekian abad menjadi keyakinan masyarakat.
Namun demikian para ahli secara umum berpendapat, penyebaran Islam di Indonesia terjadi secara berangsur-angsur, bersifat variatif dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Batu nisan di leran Gresik memberi petunjuk kemungkinan telah ada komunitas Islam yang berkembang di daerah itu pada sekitar tahun 475 Hijriah ( 1082 M). Sementara marcopolo dalam catatannya sempat singgah 5 bulan di daerah Sumatra pada tahun 1292 M, dia menceritakan adanya kota pelabuhan Islam perlak yang telah ramai pada waktu itu, baru pada tahap selanjutnya melalui jalur perdagangan ke seluruh penjuru Nusantara Islam menyebar pada sekitar abad ke-XV-XVI.[3]
Di Jawa Islam menyebar dan berkembang seiring dengan kehadiran para pendatang dari gujarat dan cina melalui jalur perdagangan sekitar abad XV, namun H.J De Graaf dan TH. Pigeaud dalam bukunya kerajaan Islam pertama di jawa mensinyalir besar kemungkinan pada abad XIII di Jawa sudah ada orang Islam yang menetap melalui jalur perdagangan laut yang menyusuri pantai timur sumatra lewat laut Jawa yang sudah dilakukan sejak jaman dulu, sehingga mereka sempat singgah di daerah pantai utara laut jawa, karena pesisir pantai utara sangat cocok sebagai pusat pemukiman saat itu.
Penyebaran Islam di Jawa tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan kiprah perjalanan orang-orang suci yang sangat legendaris dalam cerita lisan orang Jawa-Islam yang sangat populer dengan sebutan Wali berjumlah sembilan atau walisongo. Meskipun terkenal dengan sebutan walisongo diduga kemungkinan besar sebenarnya jumlah yang sesungguhnya lebih dari itu, namun angka sembilan dalam mitologi Jawa memiliki makna tersendiri, dan kesembilan wali yang populer dan diyakini masyarakat sebagai penyebar Islam pertama di Jawa adalah: Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Gunungjati.
Kesembilan Wali tersebut diyakini oleh masyarakat Jawa memiliki kemampuan linuih baik secara fisik maupun spiritual, bahkan mereka dianggap mampu melakukan hal-hal yang sulit untuk diterima secara akali, merubah pohon pinang jadi emas dan membuat soko masjid dari pasahan kayu. Lepas dari perdebatan apakah cerita lisan itu benar atau salah yang jelas para wali yang jumlahnya sembilan itu memilki kemampuan lebih dalam arti yang rasional dan ilmiah yaitu mereka sebagai pendatang yang berusaha merintis sebuah ajaran dan ideologi baru mampu melakukan strategi yang jitu di dalam mencari celah-celah nilai antara tradisi dan keyakinan lama ( Hindu-Budha) dengan tradisi dan keyakinan baru ( Islam ) dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan, sehingga Islam sebagai nilai-nilai baru dengan strategi yang mereka bangun bisa diterima, bahkan sekarang menjadi ajaran mayoritas di indonesia.
Strategi dan taktik inilah sebenarnya yang sekarang diwarisi oleh lembaga pendidikan yang namanya pesantren, karena memang secara historis keberadaan pesantren tidak bisa terlepas dari sejarah keberadaan para wali tersebut. Penjagaan harmoni dan penghormatan terhadap nilai-nilai lama dan lokalitas sangat dijunjung tinggi di dalam proses akulturasi dan integrasi yang mereka lakukan. Intitusionalisasi pesantren merupakan perjuangan tahap lanjut dari pendekatan yang digunakan walisongo dalam meng-Islamkan tanah Jawa, kesalehan sebagai jalan hidup, pemahaman yang konkret dan utuh terhadap budaya lokal merupakan karakter yang dimilki para santri yang dulu juga pernah doiakukan walisongo.[4]
Perkembangan Islam di Jawa nenemukan momentumnya ketika para Wali dapat berintegrasi dengan para tokoh bangsawan Jawa saat itu, integrasi ini dilakuakn dengan berbagai cara diantaranya melalui pendidikan, perkawinan dan puncaknya ketika walisongo bersatu membangun masjid Demak dan menjadikannya sebagai pusat kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah pada paruh kedua abad XV, Demak cepat menjadi pusat perdagangan dan lalu lintas serta sekaligus menjadi pusat ibadah bagi golongan menengah Islam yang baru muncul.
Politik ekspansi raja-raja Demak dalam masa kejayaannya telah jauh masuk ke Jawa Barat, Tengah dan Timur, hal itu selalu dibarengi dengan dakwah agama, sebab semangat agama raja-raja Demak menganggap Masjid Demak sebagai simbol kerajaan Islam pada saat itu.[5]
Dalam sejarah dimaklumi Raden Patah sebagai raja Demak yang pertama, diyakini dia adalah keturunan raja kerajaan pra Islam majapahit yang terakhir yang dalam legenda bernama Brawijaya, ibu raden Patah konon sorang putri keturunan Cina dari keraton raja majapahit. Berturut-turut setelah kerajaan Demak dipegang oleh raden Patah pada tampuk kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh pangeran Sabrang Lor yang selanjutnya diteruskan oleh generagi ketiga yang bernama Trenggono, keduanya merupakan putra dari raden Patah raja pertama Demak.
Demak sebagai ibu kota kerajaan Islam menjadi titik tolak perjuangan pada dasawarsa pertama abad XVI untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh Jawa melalui berbagai ekspansi dan ekspedisi militer, ke arah barat Hasanuddin putra syech Nurullah yang lebih dikenal dengan gelar sunan gunungjati kelak kemudian diketahui sebagai raja Islam pertama di banten, sementara ke arah timur bisa dilihat Jaka Tingkir seorang prajurit yang mengabdi pada raja Demak dan menjadi menantunya Trenggono raja Demak generasi ketiga menguasai pajang dan menjadi raja disana yang setelah itu mengangkat pangeran Timur ( putra raja Demak ) sebagai bupati di Madiun.
Perluasan daerah melalui ekpansi dan ekspedisi ini menyebar ke berbagai arah penjuru Jawa sampai ke Madura pada paruh pertama abad XVI.[6]
Sementara itu penyebaran Islam di daerah Jawa bagian Tengah terjadi seiring dengan menyebarnya keturunan para raja demak ke berbagai daerah di Jawa Tengah, seperti Jaka Tingkir istri putri Trenggono raja Demak ketiga menguasai Pajang, Ratu putri Kalinyamat ( ipar perempuan raja Pajang ) memrintah di daerah Jepara dan daerah Pati saat itu dikuasai dan diperintah di bawah seorang raja yang bernama Ki Panjawi, teman seperjuangan Ki Gede Pamanahan dan Jaka Tingkir ( Sultan Hadiwijaya ) ketika melawan Aryo Penangsang untuk menuntut balas matinya saudara ipar Jaka Tingkir ( suami Ratu Kalinyamat ).
Diceritakan bahwa raja Demak ketiga Sultan Trenggono (putra Brawijaya atau Raden Patah, raja Demak pertama) telah mengawinkan salah satu putrinya dengan Jaka Tingkir ( Sultan Hadiwijaya ) dari perkawinan itu lahirlah Pangeran Benowo ( Raden Hadiningrat ) yang mempunyai putra bernama pangeran Sambo ( Raden Sumohadinegoro ) yang menurunkan putra Ahmad Mutamakkin.
Syech Ahmad Mutamakkin adalah seorang tokoh lokal yang menjadi cikal bakal dan nenek moyang orang kajen dan sekitarnya, yang kelak kemudian hari menjadi motivator dan inspirasi berdirinya pondok pesantren yang sekarang menjadi ciri khas desa tersebut. Syech Mutamakkin bagi masyarakat di wilayah Pati diyakini sebagai seorang Waliyullah yang memiliki kemampuan linuih baik dalam bidang spirituil ( keilmuan tentang Islam ) maupun supranatural ( karomah ). Beliau dilahirkan di Desa Cebolek, 10 Km dari kota Tuban, karenanaya beliau di kenal dengan sebutan Mbah bolek di daerahnya. Sedangkan nama al-Mutamakkin [7] merupakan nama gelar yang didapatkan sepulang menuntut ilmu di Timur Tengah, yang berarti orang yang meneguhkan hati atau diyakini akan kesuciannya.
Di desa asalnya itu yang sekarang sudah berganti nama menjadi Desa Winong dapat dijumpai penginggalannya berupa sebuah Masjid Kuno yang terletak di pinggir sungai yang didalamnya masih tersimpan kayu berbentuk lonjong agak bulat yang dipergunakan beliau untuk menjemur peci/baldu ( masyarakat sekitar menyebutnya Klebut) dan sebuah batu yang berbentuk asbak. Sementara keris pusaka Syech Ahmad Mutamakkin diyakini oleh masyarakat sekitar masih berada di dalam pohon sawo kecik yang berada di depan masjid itu. Kehidupan masyarakat yang damai dan tentram ini adalah hasil perjuangan beliau dengan menyadarkan para penyamun dan penjahat yang menguasai daerah itu sebelumnya.
Lazimnya orang yang hidup pada zaman dahulu, Mutamakkin muda mengembara untuk memenuhi hasrat keinginannya, suatu ketika sampailah pada sebuah tempat, tepatnya di sebelah utara timur laut Desa kajen sekarang, sebagaimana yang menjadi kebiasaan para pengembara pada waktu itu untuk menngembalikan suasana daerah asalnya sekaligus untuk memudahkan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, diberilah nama daerah itu dengan “cebolek” seperti desa kelahiran beliau.
Di Desa barunya ini Syech Ahmad Mutamakkin sempat bermukim beberapa saat sampai suatu ketika ada kejadian mistik yang memberikan isyarat kepada beliau untuk menuju ke arah barat, kejadian itu beliau alami setelah menunaikan sholat isya’ dengan melihat cahaya yang terang berkilauan di arah barat, bagi mbah Mutamakkin hal ini merupakan isyarat, dan pada esok harinya beliau menghampiri tempat dimana cahaya pada malam hari itu mengarah. Disana beliau bertemu dengan seorang laki-laki tua yang dalam cerita lokal diyakini sebagai orang pertama kajen yang bernama Mbah Syamsuddin. Dalam pertemuan itu terjadi sebuah dialog yang didalamnya ada penyerahan wilayah kajen dari Mbah Syamsuddin kepada Mbah Mutamakkin untuk merawat dan mengelolanya. Makam mbah syamsuddin berada disebelah barat makam Mbah Mutamakkin tepatnya di sebelah arah selatan blumbang, yang sampai sekarang sering digunakan para santri untuk riyadloh dan menghafalkan al-qur’an.
Dalam masa hidupnya syech Mutamakkin sepenuhnya mengabdikan diri untuk penyebaran agama Islam di daerahnya, beliau pernah belajar di Yaman kepada Syech Muhammad Zayn al-yamani yang merupakan seorang tokoh Sufi dalam tarekat Naqsyabandiyah dan sangat berpengaruh di yaman saat itu. Tidak diketahui secara pasti kapan syech Mutamakkin berguru kepada Syech Muhammad Zayn al-Yamani, namun melalui tahun wafatnya ayah Syech Zayn ( Syech Muhammad al-Baqi ) tahun 1663 dan kematian putranya ( Abdul Khaliq Ibn Zayn ) tahun 1740 jadi diperkirakan Syech Zayn hidup antara abad XVI-XVII. Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Syech Mutamakkin berguru pada beliau pada sekitar masa itu.
Menurut Zainul Milal Bizawi, penulis buku Perlawanan Kultural Agama Rakyat; Pemikiran dan paham Keagamaan Syech Ahmad Mutamakkin, Rihlah Ilmiah atau pengembaraan dalam menuntut ilmu serta jaringan keilmuan Syech Mutamakkin tidak terlalu penting, baginya yang lebih penting adalah tentang signifikansi dan sepak terjang beliau dalam dinamika Islam di Jawa terutama tentang pilihannya dalam memakai serat Dewaruci sebagai salah satu strategi dan metode dalam meyampaikan berbagai ajarannya.
Dalam serat cebolek diceritakan bahwa Syech Mutamakkin merupakan seorang tokoh yang mempunyai pemikiran kontroversial, yang pada saat itu sedang hangatnya pergumulan dalam pemikiran Islam antara Islam eksoteris yang berpegang teguh terhadap syari’at dan Islam esoteris yang mempunyai kecenderungan terhadap nilai-nilai substansial dalam Islam melalui ajaran ke-Sufian dan Tarekat. Syech Mutamakkin mewakili kelompok kedua dalam pergulatan tersebut, dengan berbagai ajarannya tentang ilmu hakekat yang dalam tasauf mengandaikan bersatunya antara kawula dan Gusti. Ajaran ini mendapatkan tempat di sebagian besar hati masyarakat saat itu karena memang mereka masih terbawa oleh budaya dan ajaran lama ( Hindu-Budha) yang dalam ajarannya identik dengan penerimaan terhadap hal-hal yang berbau mistik.
Sebagai seorang ‘alim, diceritakan Mbah Mutamakkin sangat teguh dalam memegang prinsip dan pendiriannya tentang Aqidah yang diajarkan dalam Islam, meskipun demikian beliau juga senang mengikuti dan mencermati cerita dalam pewayangan, terutama cerita yang menyangkut lakon Bima Suci atau Dewa Ruci, bahkan menurut penuturan Milal dalam bukunya, saking senangnya beliau termasuk satu-satunya orang yang fasih dan faham betul tentang alur dan penafsiran dalam cerita tersebut., karena memang bagi beliau cerita Bima Suci atau Dewa Ruci itu mengandung unsur kesamaan seperti apa yang pernah dipelajarinya dalam ilmu tasauf ketika berguru di Yaman pada syech Zain al-yamani.
Lazimnya seorang sufi, Mbah Mutamakkin gemar melakukan ritual-ritual yang berhubungan dengan peningkatan dalam meningkatkan kedekatan dan ketaqwaan kepada sang Khaliq ( Riyadloh), ritual ini biasanya beliau lakukan dengan melatih menahan dan mengurangi kegiatan makan, minum dan tidur, dalam rangka pengekangan hawa nafsu. Suatu ketika Mbah Mutamakkin melakukan riyadloh dengan puasa selama 40 hari. Pada hari terakhir riyadloh, sangi istri diminta untuk memasak yang enak dan lezat setelah itu disuruh untuk mengikat beliau, agar dapat mengalahkan hawa nafsunya. Namun sebagain versi lain mengatakan bahwa kejadian ini (pengikatan) hanya sebagai simbol pertarungan beliau dengan hawa nafsunya, yang akhirnya keluar dari dalam dirinya dua ekor anjing yang dengan lahapnya langsung menghabiskan hidangan yang telah disajikan oleh istrinya. Dua anjing tersebut lalu diberi nama oleh beliau Abdul Qohar dan Qomaruddin yang kebetulan menyamai nama penghulu dan khotib Tuban, pemberian nama ini bagi sebagian masyarakat yang anti terhadap beliau dianggap sebagai penghinaan atau bahkan sebagai sebuah kritik terhadap para penguasa saat itu, namun menurut H.M Imam Sanusi pemberian nama itu mengandung arti dan perlambang bagi Mbah Mutamakkin sendiri, yaitu hamba Allah yang mampu memerangi hawa nafsunya.
Mbah Mutamakkin adalah sosok seorang ‘alim yang terbuka, berani, apa adanya dan suka bercanda dan menguji seseorang, sikap dan sifat tersebut pernah membuat seorang musafir merasa terhina karena ketika bertamu di rumah beliau tersinggung oleh perkataan yang dilontarkan Mbah Mutamakkin pada saat menjamu makan nasi berkat ( satu porsi nasi dari kenduren ) yang dihabiskan sampai bersih, dikatakan oleh beliau bahwa anjingnya saja tidak suka makan ikan kering, apalagi sampai habis seperti itu. Karena tamu tersebut tidak terima dengan perkataan Mbah Mutamakkin yang dianggapnya sebagai sebuah penghinaan, akhirnya tamu itu membuat selebaran dan diedarkan kepada para ulama yang berisi tentang kehidupan Mbah Mutamakkin yang memelihara anjing dan suka melihat dan mendengarkan wayang, padahal bagi masyarakat Islam hal itu dianggap melanggar peraturan hukum Islam. Karena kejadian itu akhirnya Mbah Mutamakkin sempat disidangkan di keraton surakarta dengan penuntut seorang ‘alim dari kudus yang bernama katib anom untuk dihukum mati dengan dibakar, namun yang terjadi bukan hukuman malah sebaliknya beliau dibebaskan tanpa syarat dan berhasil kembali ke Kajen untuk meneruskan perjuangan atas apa yang menjadi keyakinannya.
Banyak versi baik yang tertulis maupun yang masih beredar dalam keyakinan masyarakat Kajen yang menceritakan tentang sejarah kehidupan Mbah Mutamakkin, dan dari kedua versi yang berkembang saling bertolak belakang sesuai dengan sudut pandang masing-masing, versi yang ditulis oleh penguasa saat itu yang lebih dikenal dengan “serat cebolek” menempatkan Mbah Mutamakkin sebagai seorang pembangkang dan penganjur aliran sesat yang kurang mampu dan memahami bidang agama sementara versi yang diyakini masyarakat Kajen dan ditulis oleh salah satu pengikut dan keturunannya berdasarkan “lokal historis” masyarakat sekitar Kajen menempatkan Mbah Mutamakkin sebagai seorang yang ‘alim dan suci sebagi penganjur agama Islam di daerah itu bahkan beliau menempati posisi tertinggi dalam struktur keyakinan masyarakat Islam sebagai seorang waliyullah, demikian juga yang disimpulkan dalam bukunya “Memelihara Umat” Pradjarta menyatakan bahwa Mbah Mutamakkin adalah seorang perintis pertama dan penyebar agama Islam di daerah Tayu dan sekitarnya.
Wallahu a’lam, lepas dari perdebatan berbagai versi yang ada mana yang dianggap benar. Namun satu yang pasti dan dapat dibuktikan bahwa Mbah Mutamakkin berhasil lolos dari tuntutan atas kematiannya dan di masyarakatnya sampai sekarang tetap diyakini sebagai seorang wali yang memilki berbagai kemampuan linuih dan karomah. Bahkan kehadirannya di desa kajen telah menjadi pioner dan perintis dari berdirinya pesantren dan penyebaran agama Islam di wilayahnya, ini merupakan bukti nyata bahwa beliau diterima dan dipercaya oleh masyarakatnya, dan sejarah adalah bukti yang paling real atas sebuah peristiwa yang terjadi.
Perjuangan dan ajaran beliau sampai sekarang masih diyakini dan dipegang teguh oleh keturunan dan para pengikutnya, pengaruh beliau masih dapat dirasakan sampai sekarang, layaknya sebagai tanah perdikan pada zaman itu yang dibebaskan dari pembayaran pajak, Kajen sekarang adalah tanah pendidikan yang menjadi alternatif dari bentuk pendidikan nasional yang ada, kajen dengan daya tarik dan berbagai kelebihannya ingin menyampaikan bahwa sejarah independensinya sebagai tanah perdikan tidak sekedar mandiri dalam arti sempit yang mengelola kehidupannya sendiri namun lebih dari itu Kajen adalah sebuah desa yang senantiasa mengikuti perkembangan yang terjadi tanpa menghilangkan nilai lokalitas yang dimilkinya, pembangunan bukan berarti merubah segala sesuatu dengan menghancurkan yang lama,tapi pembangunan adalah suatu usaha untuk memahami jati diri dan potensinya yang disesuaikan dengan kebutuhan demi kemaslahatan dan kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan pesantren di desa kajen yang mencapai 26 dan sekitar 5 madrasah yang semuanya dikelola dan dikembangkan oleh keturunan sang pejuang dan penganjur nilai-nilai luhur dan keislaman, Mbah Mutamakkin.